Selasa, 09 Februari 2016

Pakaian Intlektual Kampus Religius



Pakaian Intlektual Kampus Religius

Oleh : Edi Saputra, M.Pd 

Dosen PKn Universitas Negeri Padang

Pakaian atau busana adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan, pakaian merupakan salah satu persoalan pokok yang menyangkut  peradaban manusia yakni, kebutuhan akan sandang disamping kebutuhan pokok lainnya seperti pangan dan papan. Selaian itu pakaian juga merupakan ciri khusus kehidupan manusia dibandingkan dengan mahkluk hidup lainnya. Cara berpakaian tersebut termasuk kebudayaan yang menentukan nilai kepribadian seseorang dalam keluarga, masyarakat, lembaga bahkan suatu negara.
Identitas seseorang dan pola berfikirnya serta statusnya akan dapat diketehui dari pakaiannya. Seorang anak akan berbeda pakaiannya dengan orang tuanya karena memang pola pikirnya juga berbeda. Selain itu pakaian seseorang bahkan dapat mempengaruhi tingkah laku dan emosinya. Orang tua yang memakai pakaian anak muda dapat mengalir di dalam dirinya jiwa anak muda. Begitu juga halnya dengan seorang guru atau dosen, tentu ia akan menyesuaikan pakaiannya dengan profesi yang melekat pada dirinya. Dapat dikatakan bahwa bila seorang memakai pakaian yang baik dan sopan maka ia akan berusaha berlaku sopan dan baik, demikianlah seterusnya.
Sebuah lembaga atau kelompok bahkan sebuah negara menentukan, memaksakan dan melarang ‘apa, bagaimana, bentuk, warna, bahkan aksesoris atau atribut yang harus ada pada pakaian mereka’. Sejarah mencatat bagaimana negara Turki dibawah pimpinan diktator Kemal Attarurk melarang pemakaian Tarbusy. Karena ia menilai bahwa Tarbusy tersebut adalah bagian dari tradisi dan pemikiran kolot yang menghambat kemajuan pemikiran dan kebudayaan bangsa Turki. Untuk itu harus diganti dengan topi ala barat yang berpikiran lebih maju dan modren.
Dalam tulisan ini yang terpenting dibahas adalah bagaimana pakaian tersebut nantinya menunjukkan identitas seseorang dalam sebuah lembaga. Pakaian tersebut nantinya tidak saja tampak pada tataran nilai-nilai etika, estetika tetapi juga pada pola pikir, tingkah laku dan ketrampilan yang akan dibentuk, diinginkan dan dihasilkan oleh lembaga tersebut. Semisal Universitas Negeri Padang yang bermottokan “Kampus Intelektual Relegius”, tentunya sudah memiliki sebuah pemikiran tentang bagaimana semua unsur civitas akademikanya berpakaian sesuai dengan motto yang didengungkan.
Pemikiran ini kalaulah tidak boleh sampai pada adanya aturan-aturan keharusan berpakain tertentu ‘apa, bagaimana, bentuk, warna, aksesoris dan atribut yang harus ada pada  pakaian’, apa lagi semacam adanya seragam khusus bagi UNP. Tetapi yang dimaksud pada tulisan ini semacam kesadaran bahwa suatu kekeliruan jika mengingkari pentingnya pakaian, tetapi lebih keliru lagi yang tidak selektif dalam pemilihan pakaian yang tidak sesuai dengan motto UNP “Kampus Intelektual Religius”, serta kondisi ekonomi civitas akademika khususnya mahasiswa. Sangat keliru lagi bagi mereka yang mengabaikan petujuk-petunjuk dan tuntunan yang ada pada adat istiadat, kebudayaan Minangkabau dimana UNP berada dalam masyarakat yang berfalsafahkan “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’mangato adat mamakai, Alam takambang jadi guru”.Salah apabila perasaan seseorang disinggung karena memilih pakaian yang dianggapnya baik. Tetapi lebih salah satu lagi jika mencerca bahkan melarangnya memakai suatu pakaian yang oleh agamanya baik.
Untuk itu dalam tulisan ini penulis mencoba memaparkan bagaimana pakaian intletual kampus religius. Dimana, UNP sebagai lembaga yang tidak saja berisikan para  intlektual tetapi malah justru memproduksi para pendidik intlektual tersebut. Dan tak kalah pentingnya lagi adalah para pendidik intlektual yang dihasilkan UNP tersebut merupakan para intlektual religius. Ini bukan berarti pakaian intlektual religius yang berdasarkan agama tertentu tetapi, alangkah baiknya keintlektualnya tersebut merupakan cerminan dari agama yang diyakini, dianut dan diamalkanya. Semisalnya agama Islam, penganutnya (intlektual UNP) harus menutup aurat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa UNP identik dengan lembaga yang menghasilkan para guru, pendidik bangsa disamping menghasilkan para ilmuwan diberbagai disiplin ilmu. Tentunya dalam hal berpakaian memperhatikan hal ini yakni, perpakaian pantas sebagai seorang guru. Khususnya bagi mahasiswa, tentu orang tidak ingin melihat calon guru, pendidik, intlektual yang religius berpakaian ala aktor, artis, bintang film yang sedang show. Berpakaian seenaknya saja, celana yang ketat, baju yang sempit atau kedodoran. Pakaian dengan gambar-gambar yang tidak karuan, bahkan jorok. Ditambah dengan penampilan rambut yang tidak terurus, berwarna-warni, pakai anting, bagi wanita antingnya lebih dari 4, tidak saja di telinga tetapi juga di hidung atau di mulut, ditambah lagi dengan berbagai macam gambar tato di tubuhnya.
Sebagai intlektual religius, khususnya yang beragama Islam dalam tulisan ini akan dipaparkan bagaimana berpakaian menurut al Quran. Al Quran telah berbicara tentang masalah tersebut khususnya bagi kaum perempuan (muslimah) intlektual, walaupun pembicaraannya tidak mengenai mode atau bentuknya. Yang dibicarakan dalam Al Quran adalah fungsi dan tujuan berpakaian. Paling tidak, ada tiga fungsi pakaian yang disinggung oleh Al Quran. Pertama, memelihara pemakainya dari sengatan panas dan dingin serta segala sesuatu yang dapat mengganggu jasmani.
“Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang Telah dia ciptakan, dan dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan dia jadikan bagimu Pakaian yang memeliharamu dari panas dan Pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya)”(QS: AL Nahl : 81).
Kedua, menunjukan identitas, sehingga pemakainya dapat dipelihara dari gangguan usilan. “Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS : Al Ahzab : 59).
Pakain jilbab yang dimaksud ayat ini khusus bagi muslimah yakni sejenis selendang yang lebar dan lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada. Bukan sekedar kerudung yang dikenakan di kepala kemudian dililitan asalan-asalan saja di leher sebagaimana yang dipahami dan dipakai oleh kaum muslimah saat ini. Bukan jilbab yang dikombinasikan dengan model dan gaya penampilan yang seksi, berbaju ketat, celana ketat, memperlihatkan pusar, ditambah dengan semerbak parfum yang menyengat, berlipstik tebal dengan beraneka ragam makeup yang tak lumrah bagi muslimah intlektual.
Ketiga, menutupi yang tidak wajar kelihatan (aurat) serta menambah keindahan pemakainya. “Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa. Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat”. (QS: Al ‘Araaf : 26).
Dari ayat ini nampak bahwa salah satu fungsi pakaian bagi seorang muslimah intlektual adalah untuk menutup aurat bakan sekedar mode dan keindahan semata. Aurat yang dimaksud tidak hanya sekedar tertutupi tetapi, lebih jauh dari itu tidak memperlihatkan bentuk dan lekuk tubuh. Bagaimana mungkin bisa dikatakan menutup aurat jika orang yang melihatnya tahu bagaimana kondisiukuran, bahkan warna pakaian dalam yang dikenakannya. 
Ketiga fungsi pakaian diatas hendaknya dapat menyatu pada busana yang dikenakan, apalagi seorang intlektual religius. Yang terpenting itu adalah fungsi kedua dan fungsi ketiga. Jangan dalam keadaan beraktivitas mencari ilmu untuk menjadi seorang intlektual religius, malah terjebak oleh ide dan propaganda orang-orang kafir atau sekuler yang ingin menghancurkan peradaban umat islam secara perlahan untuk kemudian menggantinya dengan peradaban mereka. Tanpa disadari sebenarnya para intlektual sudah terkecoh, mereka beranggapan sudah berpakaian sesuai dengan tuntunan agama, tetapi malah sebaliknya berpakaian menurut gaya barat yang identik dengan fashion yang hanya menuruti hawa nafsu yang bertopengkan keindahan. Wallahu ‘Alam.

Jumat, 29 Januari 2016

Nilai-Nilai Apa Yang Akan di Kembangkan, Diwariskan, dan Dididik Oleh PKn Dalam Masyarakat Multikultural



Nilai-Nilai Apa Yang Akan di Kembangkan,
Diwariskan, dan Dididik Oleh PKn Dalam Masyarakat Multikultural

Oleh :  
Edi Saputra
Dosen PKn FIS UNP

Banyak para pakar pendidikan mendefnisikan konsep pendidikan diantaranya; Kihajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional), Jhon Stuart Mill, H.Horne, Jhon  Dewey, Edgar Dalle, Thompson, MJ.Longeveled, Richey, Ibnu Muqaffa, Plato dan pakar lainnya walaupun bukan dari kalangan pendidik itu sendiri. Berdasarkan katanya Pendidikan berasal dari kata " didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut bahasa Yunani : pendidikan berasal dari kata " Pedagogi" yaitu kata " paid" artinya " anak" sedangkan " agogos" yang artinya membimbing " sehingga " pedagogi" dapat di artikan sebagai "ilmu dan seni mengajar anak". Disini nampak bahwa dalam pendidikan ada usaha atau proses, ada pendidik dan ada perserta didik dan yang teramat penting lagi ada yang disampaikan, yang diinginkan (kognitif, afektif, Psikomotor) sehingga bisa untuk hidup bahagia, mandiri, selamat, tentram, dll dunia akhirat. Jadi pada dasarnya pendidikan adalah usaha atau proses mentransformasikan nilai-nilai pada peserta didik untuk hidup selamat dunia dan akhirat.
Nilai yang dimaksud bukan saja dalam arti soal benar atau salah tetapi, juga soal dikehendaki atau tidak, disenangi atau tidak. Nilai juga merupakan kumpulan sikap dan perasaan-perasaan yang selalu diperhatikan melalui perilaku oleh manusia. Nilai juga kualitas ketentuan yang bermakna bagi kehidupan manusia perorangan, masyarakat, bangsa, negara. Nilai juga apa yang dikatakan Nietzche yaitu tingkat atau derajat yang diinginkan oleh manusia. Nilai juga merupakan tujuan dari kehendak manusia yang benar sering ditata menurut susunan tingkatannya, dimulai dari bawah, yaitu nilai hedonis (kenikmatan), nilai utilitaris (kegunaan), nilai biologis (kemuliaan), nilai diri estetis (keindahan, kecantikan), nilai- nilai pribadi (sosial, baik), dan yang paling atas adalah nilai religius (kesuciaan).
Maka dari konsep diatas bisa dikatakan bahwa semua bentuk pendidikan, baik eksata, sosial, humaniora pada dasarnya adalah perwarisan nilai-nilai untuk keselamatan dunia akhirat. Pedidikan Matematika misalnya, mewariskan nilai jelas, tepat, logis, sistimatis. Disini anak didik dilatih berhitung 4 + 4 = 8, dirinya akan terlatih bertindak jelas dan tepat sehingga selamat dunia akhirat. Begitu juga dengan pendidikan lainnya yang juga  mewariskan nilai-nilai tersendiri untuk keselamatan hidup dunia akhirat.
Saat ini yang menjadi pertanyaan besar bagi kita adalah nilai-nilai apa yang akan di kembangkan, diwariskan, dan dididik oleh PKn dalam masyarakat multikultural?. Dimana PKn berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. PKn berbasis multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat. PKn berbasis multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.
Untuk memaknai kembali akan arti dari pentingnya menghadapi tantangan-tantangan tersebut, maka diperlukan PKn berbasis multicultural. Sebab secara subtantif PKn adalah satu-satunya mata pelajaran yang diamanahkan untuk membentuk karakter siswa sebagai warga Negara yang baik. Tantangan yang dihadapi guru PKn tentunya tidak mudah mengingat salah satunya adalah pengajaran PKn di Indonesia yang masih pada titik minimal, sebagaimana yang dikemukakan oleh David Kerr bahwa Citizenship Education pada titik minimal ditandai oleh: “Thin, exclusive, elitist, civics education, formal, content led, knowledge-based, didactic transmission, easier to achieve and meansure in ractice. Maksudnya adalah didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, dan hasilnya mudah diukur.
Jika PKn diajarkan hanya sampai pada titik minimal ini maka akan dikhawatirkan juga tidak dapat menyentuh pada pewarisn nilai yang diharapkan. Oleh sebab itu sebagai renungan akhir dari kita, mengapa kita tidak mencoba menanta pengajaran PKn sampai pada titik maksimal. Lebih lanjut David Kerr menambahkan bahwa yang bersifat maksimal ditandai oleh: “Thick, inclusive, activist, citizenship education, participative, proses-led, values-based, interactive interpretation, more difficult to achieve and meansure in practice”. Maksudnya adalah didefinisikan secara luas , mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsure masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, dilabel “citizenshipeducation”, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleknya hasil belajar. PKn tidak hanya tanggung jawab guru PKn, melainkan menjadi tanggung jawab semua komponen yang ada. Dengan perkataan lain, PKn seyogyanya diorganisasikan secara lintas-bidang ilmu, dengan PKn yang partisipatif dan interaktif, isi dan proses dikaitkan dengan kehidupan nyata, diselenggarakan dalam suasana demokratis, diupayakan mewadahi keanekaragaman social budaya masyarakat, dan dikembangkan bersama antara sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah
Dengan kata lain PKn yang diamksud disini bukanlah PKn dalam arti sempit (legal Status) saja yakni membahas segi-segi fungsi-funfsi politik, goverment dll, tetapi juga dalam arti luas yang juga menyangkut masalah desitable personal qualiteis (kepribadiaan seseorang) seperti yang diungkapkan oleh Stanley E Dimort yang nanti bermuara pada pewarisan nilai-nilai yang dianut oleh warga negara dalam hidup berbangsa dan bernegara. Terutama bangsa Indinesia yang masyarakatnya multi kultural ini.
Selama ini kita melihat dalam pendidikan PKn nilai-nilai yang dikembangkan adalah nilai-nilai yang bersumber dari cara berfikir diealetika yang dicetus oleh Socrates. Nilai itu muncul karena proses berfikir manusia dari akalnya. Sesuatu itu akan dipandang baik dan buruk karena proses pemikiran akal manusia, sehingga melahirkan prilaku dan nilai yang hidup dalam budaya masyarakat. Namun akan kembali berubah dan berganti karena pemikiran akal manusia itu sendiri. Begitulah sterusnya.
Dalam kondisi inilah, standar nilai yang akan diwariskan akan nampak “abu-abu”. Akan saling berbenturan satu dengan yang lainya. Nilai toleransi, kerjasama, gotong royang, kebebasan, persaudaraan akan dimaknai lain oleh individu dan masyarakat. Untuk pada tulisan singkat ini penulis mencoba menawarkan nilai-nilai apa yang akan di kembangkan, diwariskan, dan dididik oleh PKn. Pertama kita coba melihat dari mana sumber nilai yang akan dikembangkan. Untuk menjawab pertanyaan ini penulis menggnakan pendekatan wahyu. Artinya nilai yang dikembangkan berasal dari wahyu Tuhan bukan akal pemikran manusia semata.
Nilai yang dikembangkan saat ini pada dasarnya merupakan pengaruh pengagungan akal yang dicetus Socrates pada masa Yunani, diadobsi oleh para ilmuwan Barat dan berpengaruh pada pemikiran Dunia Timur (Indonesia). Ini wajar karena kondisi masyarakat barat yang tidak punya wahyu dibandinkan dunia timur yang merupakan tempat turunnya wahyu yang menjadi pedoman agama besar di dunia seperti Islam. Maka nilai yang berkembang adalah nilai yang bersumber dari akal yang mengeyampingkan wahyu.
Untuk bagi kita bangsa Indonesia, yang dijadikan sebagai sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah Pancasila. Ini berarti bahwa seluruh tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara menggunakan Pancasila sebagai dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang baik buruk dan benar salahnya sikap, perbuatan, dan tingkah laku bangsa Indonesia.
Nilai-nilai pancasila itu merupakan nilai intrinsik yang kebenarannya dapat dibuktikan secara objektif, serta mengandung kebenaran yang universal. Dengan demikian, tinjauan pancasila berlandaskan pada tuhan, manusia, rakyat, dan adil sehingga nilai-nilai pancasila memiliki sifat objektif. Pancasila dirumuskan oleh para pendiri Negara yang memuat nilai- nilai luhur untuk menjadi dasar Negara yang secara hirakhi yang tertinggi itu adalah TUHAN. Artinya semua nilai yang dikembangkan harus berdasarkan KETUHANAN.
Tentu timbul pertanyaan bagi kita, bahawa TUHAN yang kita pahami dalam masyarakat kita yang  multicultural bukan TUHAN-nya ISLAM saja, tetapi masih banyak TUHAN lain menurut agama yang mereka yakini seperti kristren misalnya. Untuk itu nilai yang perlu kita warisi pada peserta didik oleh PKn adalah, yang bersifat nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praktis. Nilai dasar adalah Asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang kurang lebih mutlak. Nilai dasar berasal dari nilai-nilai kultural atau budaya yang berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri, yaitu yang berakar dari kebudayaan, sesuai dengan UUD 1945 yang mencerminkan hakikat nilai kultural. Nilai instrumental adalah Pelaksanaan umum nilai-nilai dasar, biasanya dalam wujud nilai social atau norma hukum, yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam lembaga-lembaga yang sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu. Nilai praktis Nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan bahan ujian, apakah nilai dasar dan nilai instrumental sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat atau tidak.
Untuk itu yang dilakukan untuk mendidik peserta didik tidak memaksakan untuk dihafal tanpa ada kebebasan berfikir dan tidak pernah benar-benar peduli terhadap apa yang mereka pikirkan. Mendidik tidak menjejaki anak dengan pelajaran yang terlalu banyak, sehingga mereka  menjadi kehilangan selera dan nafsu belajar, bahkan merasa muak dengan semua itu. Banyak diantara mereka dengan anggapan PKn pelajarannya mudah karena hanya menghafal.
Pendidik haruslah menempatkan anak didik sebagai objek dan bukan sebagai subjek didik. Berikan kesempatan pada mereka dalam berbagai mata pelajaran lainnya, untuk mengembangkan kemampuan berfikir holistik. (menyeluruh), kreatif, objektif, dan logis. Dan memamfaatkan Quantum Learning sebagai salah satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta memperhatikan ketuntasan belajar secara individual.
Pendidikan harus menerapakan pelajaran sampai anak menguasai materi pelajaran secara tuntas. Dalam mengelola pelajarannya begitu saja berpindah dari satuan pembelajaran satu ke pelajaran berikutnya, harus memperhatikan siswa-siswa yang lamban, kurang memahami, atau bahkan gagal mencapai tujan yang direncanakan. Sehingga tidak dijumpai anak sudah dinyatakan tamat atau lulus tetapi tidak menguasai pelajaran tersebut.