Nilai-Nilai Apa Yang Akan di
Kembangkan,
Diwariskan,
dan Dididik Oleh PKn Dalam Masyarakat Multikultural
Oleh
:
Edi Saputra
Dosen PKn FIS UNP
Banyak para pakar pendidikan mendefnisikan konsep pendidikan diantaranya;
Kihajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional), Jhon Stuart Mill, H.Horne,
Jhon Dewey, Edgar Dalle, Thompson,
MJ.Longeveled, Richey, Ibnu Muqaffa, Plato dan pakar lainnya walaupun bukan
dari kalangan pendidik itu sendiri. Berdasarkan katanya Pendidikan berasal dari
kata " didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me"
sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam
memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut bahasa Yunani : pendidikan
berasal dari kata " Pedagogi" yaitu kata " paid" artinya
" anak" sedangkan " agogos" yang artinya membimbing "
sehingga " pedagogi" dapat di artikan sebagai "ilmu dan seni
mengajar anak". Disini nampak bahwa dalam pendidikan ada usaha atau
proses, ada pendidik dan ada perserta didik dan yang teramat penting lagi ada
yang disampaikan, yang diinginkan (kognitif, afektif, Psikomotor) sehingga bisa
untuk hidup bahagia, mandiri, selamat, tentram, dll dunia akhirat. Jadi pada
dasarnya pendidikan adalah usaha atau proses mentransformasikan nilai-nilai
pada peserta didik untuk hidup selamat dunia dan akhirat.
Nilai yang dimaksud bukan saja dalam arti soal benar atau salah tetapi, juga soal dikehendaki
atau tidak, disenangi atau tidak. Nilai juga merupakan kumpulan sikap dan perasaan-perasaan yang selalu diperhatikan melalui perilaku
oleh manusia. Nilai juga kualitas ketentuan yang bermakna bagi
kehidupan manusia perorangan, masyarakat, bangsa, negara.
Nilai juga apa yang dikatakan Nietzche yaitu tingkat atau derajat
yang diinginkan oleh manusia. Nilai juga merupakan tujuan
dari kehendak manusia yang benar sering ditata menurut
susunan tingkatannya, dimulai dari bawah, yaitu nilai
hedonis (kenikmatan), nilai utilitaris (kegunaan), nilai
biologis (kemuliaan), nilai diri estetis (keindahan, kecantikan), nilai-
nilai pribadi (sosial, baik), dan yang paling atas adalah nilai
religius (kesuciaan).
Maka dari konsep diatas bisa dikatakan bahwa semua bentuk pendidikan,
baik eksata, sosial, humaniora pada dasarnya adalah perwarisan nilai-nilai
untuk keselamatan dunia akhirat. Pedidikan Matematika misalnya,
mewariskan nilai jelas, tepat, logis, sistimatis. Disini anak didik dilatih
berhitung 4 + 4 = 8, dirinya akan terlatih bertindak jelas dan tepat sehingga
selamat dunia akhirat. Begitu juga dengan pendidikan lainnya yang juga mewariskan nilai-nilai tersendiri untuk
keselamatan hidup dunia akhirat.
Saat ini yang menjadi pertanyaan besar bagi kita adalah nilai-nilai
apa yang akan di kembangkan, diwariskan, dan dididik oleh PKn dalam masyarakat
multikultural?. Dimana PKn berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa
untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi
kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda
etnis atau rasnya secara langsung. PKn berbasis multikultural juga membantu
siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam,
membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka,
menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar
kelompok masyarakat. PKn berbasis multikultural diselenggarakan dalam upaya
mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai
perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap
positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.
Untuk memaknai kembali akan arti dari pentingnya menghadapi tantangan-tantangan
tersebut, maka diperlukan PKn berbasis multicultural. Sebab secara subtantif
PKn adalah satu-satunya mata pelajaran yang diamanahkan untuk membentuk
karakter siswa sebagai warga Negara yang baik. Tantangan yang dihadapi guru PKn
tentunya tidak mudah mengingat salah satunya adalah pengajaran PKn di Indonesia
yang masih pada titik minimal, sebagaimana yang dikemukakan oleh David Kerr
bahwa Citizenship Education pada titik minimal ditandai oleh: “Thin, exclusive,
elitist, civics education, formal, content led, knowledge-based, didactic
transmission, easier to achieve and meansure in ractice. Maksudnya adalah
didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk
pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi
pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, dan hasilnya mudah
diukur.
Jika PKn diajarkan hanya sampai pada titik minimal ini maka akan
dikhawatirkan juga tidak dapat menyentuh pada pewarisn nilai yang diharapkan.
Oleh sebab itu sebagai renungan akhir dari kita, mengapa kita tidak mencoba
menanta pengajaran PKn sampai pada titik maksimal. Lebih lanjut David Kerr
menambahkan bahwa yang bersifat maksimal ditandai oleh: “Thick, inclusive,
activist, citizenship education, participative, proses-led, values-based,
interactive interpretation, more difficult to achieve and meansure in
practice”. Maksudnya adalah didefinisikan secara luas , mewadahi berbagai
aspirasi dan melibatkan berbagai unsure masyarakat, kombinasi pendekatan formal
dan informal, dilabel “citizenshipeducation”, menitikberatkan pada partisipasi
siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun luar kelas,
hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleknya hasil belajar. PKn
tidak hanya tanggung jawab guru PKn, melainkan menjadi tanggung jawab semua
komponen yang ada. Dengan perkataan lain, PKn seyogyanya diorganisasikan secara
lintas-bidang ilmu, dengan PKn yang partisipatif dan interaktif, isi dan proses
dikaitkan dengan kehidupan nyata, diselenggarakan dalam suasana demokratis,
diupayakan mewadahi keanekaragaman social budaya masyarakat, dan dikembangkan
bersama antara sekolah, orang tua, masyarakat dan pemerintah
Dengan kata lain PKn yang diamksud disini bukanlah PKn dalam arti sempit
(legal Status) saja yakni membahas segi-segi fungsi-funfsi politik, goverment
dll, tetapi juga dalam arti luas yang juga menyangkut masalah desitable personal qualiteis
(kepribadiaan seseorang) seperti yang diungkapkan oleh Stanley E Dimort yang
nanti bermuara pada pewarisan nilai-nilai yang dianut oleh warga negara dalam
hidup berbangsa dan bernegara. Terutama bangsa Indinesia yang masyarakatnya
multi kultural ini.
Selama ini kita melihat dalam pendidikan PKn nilai-nilai yang
dikembangkan adalah nilai-nilai yang bersumber dari cara berfikir diealetika
yang dicetus oleh Socrates. Nilai itu muncul karena proses berfikir manusia
dari akalnya. Sesuatu itu akan dipandang baik dan buruk karena proses pemikiran
akal manusia, sehingga melahirkan prilaku dan nilai yang hidup dalam budaya
masyarakat. Namun akan kembali berubah dan berganti karena pemikiran akal
manusia itu sendiri. Begitulah sterusnya.
Dalam kondisi inilah, standar nilai yang akan diwariskan akan nampak
“abu-abu”. Akan saling berbenturan satu dengan yang lainya. Nilai toleransi,
kerjasama, gotong royang, kebebasan, persaudaraan akan dimaknai lain oleh
individu dan masyarakat. Untuk pada tulisan singkat ini penulis mencoba
menawarkan nilai-nilai apa yang akan di kembangkan, diwariskan, dan dididik
oleh PKn. Pertama kita coba melihat dari mana sumber nilai yang akan
dikembangkan. Untuk menjawab pertanyaan ini penulis menggnakan pendekatan
wahyu. Artinya nilai yang dikembangkan berasal dari wahyu Tuhan bukan akal
pemikran manusia semata.
Nilai yang dikembangkan saat ini pada dasarnya merupakan pengaruh
pengagungan akal yang dicetus Socrates pada masa Yunani, diadobsi oleh para
ilmuwan Barat dan berpengaruh pada pemikiran Dunia Timur (Indonesia). Ini wajar
karena kondisi masyarakat barat yang tidak punya wahyu dibandinkan dunia timur
yang merupakan tempat turunnya wahyu yang menjadi pedoman agama besar di dunia
seperti Islam. Maka nilai yang berkembang adalah nilai yang bersumber dari akal
yang mengeyampingkan wahyu.
Untuk bagi kita bangsa Indonesia, yang dijadikan sebagai
sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara adalah Pancasila. Ini berarti bahwa seluruh
tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
menggunakan Pancasila sebagai dasar moral atau norma dan tolak
ukur tentang baik buruk dan benar salahnya sikap, perbuatan, dan tingkah laku bangsa Indonesia.
Nilai-nilai pancasila itu merupakan nilai intrinsik yang
kebenarannya dapat dibuktikan secara objektif, serta
mengandung kebenaran yang universal. Dengan demikian,
tinjauan pancasila berlandaskan pada tuhan, manusia,
rakyat, dan adil sehingga nilai-nilai pancasila memiliki sifat objektif. Pancasila dirumuskan oleh para pendiri
Negara yang memuat nilai- nilai luhur untuk menjadi dasar
Negara yang secara hirakhi yang tertinggi itu adalah TUHAN. Artinya semua nilai
yang dikembangkan harus berdasarkan KETUHANAN.
Tentu timbul pertanyaan bagi kita, bahawa TUHAN yang kita
pahami dalam masyarakat kita yang
multicultural bukan TUHAN-nya ISLAM saja, tetapi masih banyak TUHAN lain
menurut agama yang mereka yakini seperti kristren misalnya. Untuk itu nilai yang
perlu kita warisi pada peserta didik oleh PKn adalah, yang bersifat nilai
dasar, nilai instrumental dan nilai praktis. Nilai
dasar adalah Asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang
kurang lebih mutlak. Nilai dasar berasal dari nilai-nilai
kultural atau budaya yang berasal dari bangsa Indonesia
itu sendiri, yaitu yang berakar dari kebudayaan, sesuai
dengan UUD 1945 yang mencerminkan hakikat nilai kultural.
Nilai instrumental adalah Pelaksanaan umum nilai-nilai dasar,
biasanya dalam wujud nilai social atau norma hukum, yang
selanjutnya akan terkristalisasi dalam lembaga-lembaga
yang sesuai dengan kebutuhan tempat dan waktu.
Nilai praktis Nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam
kenyataan. Nilai ini merupakan bahan ujian, apakah nilai dasar
dan nilai instrumental sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat atau tidak.
Untuk itu yang dilakukan untuk mendidik peserta didik tidak memaksakan
untuk dihafal tanpa ada kebebasan berfikir dan tidak pernah benar-benar peduli
terhadap apa yang mereka pikirkan. Mendidik tidak menjejaki anak dengan
pelajaran yang terlalu banyak, sehingga mereka
menjadi kehilangan selera dan nafsu belajar, bahkan merasa muak dengan
semua itu. Banyak diantara mereka dengan anggapan PKn pelajarannya mudah karena
hanya menghafal.
Pendidik haruslah menempatkan anak didik sebagai objek dan bukan sebagai
subjek didik. Berikan kesempatan pada mereka dalam berbagai mata pelajaran
lainnya, untuk mengembangkan kemampuan berfikir holistik. (menyeluruh),
kreatif, objektif, dan logis. Dan memamfaatkan Quantum Learning sebagai salah
satu paradigma menarik dalam pembelajaran, serta memperhatikan ketuntasan
belajar secara individual.
Pendidikan harus menerapakan pelajaran sampai anak menguasai materi
pelajaran secara tuntas. Dalam mengelola pelajarannya begitu saja berpindah
dari satuan pembelajaran satu ke pelajaran berikutnya, harus memperhatikan
siswa-siswa yang lamban, kurang memahami, atau bahkan gagal mencapai tujan yang
direncanakan. Sehingga tidak dijumpai anak sudah dinyatakan tamat atau lulus
tetapi tidak menguasai pelajaran tersebut.